Kamis, 09 April 2009

WATI; AKHIRNYA ANAKKU LAHIR SEMPURNA (Janinnya Sempat Divonis Mati)

Rasa syukur tak pernah berhenti diungkapkan Wati, sejak delapan tahun yang lalu hingga sekarang. Betapa tidak, ia pernah dihadapkan pada satu kejadian tragis yang tidak bisa dilupakannya. Sebuah peristiwa yang nyaris saja membuatnya kehilangan anak untuk kedua kalinya, dalam waktu yang relatif pendek. Jika tidak karena pasrah pada Allah dengan banyak beribadah kepada-Nya, hal itu mungkin tidak akan terjadi.

Delapan tahun bukanlah waktu yang pendek untuk dikenang. Wati, seorang ibu rumah tangga, pernah divonis oleh dokter bahwa janinnya yang berusia tiga bulan harus dikuret karena telah mengalami keguguran. Jika dibiarkan, janin yang telah gugur itu akan membusuk dan bisa membahayakan keselamatannya.

Wati mengelaknya. Ia tidak mau dikuret. “Sebab, saya pernah dikuret. Jadi, tahu betul betapa sakitnya dikuret,” ujarnya beralasan saat itu.

Masih terbayang bagaimana ia dikuret delapan bulan yang lalu dan itu sangat menyesakkan dadanya, hingga ia tidak bisa tidur, selalu frustasi dan nyaris berputus asa dari rahmat Allah. Belum lagi, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk kuret?

Wati menyadari janinnya tidak beres ketika sedang buang hajat. Saat itulah ada sesuatu yang berbau busuk keluar dari salah satu organ pentingnya. Benda yang keluar itu seperti sebuah darah atau daging kental yang teriris-iris. Ia pun segera memeriksa kondisinya itu ke klenik terdekat rumahnya di Cipete. Oleh dokter, ia pun langsung divonis bahwa janinnya telah mengalami keguguran dan harus dikuret agar tidak mengalami pembusukan yang lebih akut di dalam. Tetapi, ia menolaknya.

“Saya sendiri heran, kenapa hal ini terjadi lagi untuk kedua kalinya? Padahal, sejak saya pernah dikuret delapan bulan yang lalu dan kemudian diketahui saya hamil lagi, saya selalu menjaga kondisi badan saya. Saya cukup istirahat dan tidak sembarangan makan,” ujar Wati penuh heran.

Tetapi, ternyata kejadian mengerikan datang lagi. Di saat usia kandungannya tiga bulan, ia mengalami keguguran dan itu harus dikuret. Wati tidak percaya akan semua ini. Sebab, selama ini ia merasa selalu menjaga fisiknya dan juga batinnya. Sebagai ibu rumah tangga, ia banyak menghabiskan waktunya di rumah. Begitu juga dengan pola makannya, cukup teratur dan tidak sembarangan. Karena itu, ketika dia dipaksa harus dikuret lagi, ia pun menolaknya. Sebab, ia masih teringat betul bagaimana tidak enaknya dikuret.

Sikap Wati yang demikian itu, yaitu menolak dikuret, sama saja baginya sedang menantang maut. Ia sangat menyadari akan hal itu. Ia sadar betul bahwa bahaya sedang ada di hadapannya. Tetapi, ia tetap tidak menghiraukannya. “Tidak masalah. Saya pasrah saja pada Tuhan. Biarin janin ini keluar sendiri. Yang penting saya tidak mau dikuret,” kenangnya.

Wati pasrah pada takdir Tuhan. Ia membiarkan janinnya yang telah mati di dalam rahimnya untuk tidak dikuret. Ia percaya bahwa takdir kematian itu berada di tangan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki janin yang telah gugur itu tidak membahayakan nyawanya, maka itu pasti terjadi. Sebaliknya, jika itu pun benar-benar berbahaya baginya, maka ia hanya bisa pasrah.

Ia sadar bahwa dengan tidak dikuret sama saja ia sedang menggadaikan nyawanya. Tetapi, ia juga sadar bahwa dikuret itu merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Hari-hari dilaluinya dengan pasrah, hingga ia kemudian bertemu dengan seorang tokoh agama.

Shalat Tasbih Setiap Hari

Ibu Wati, Ny. Mahuyah, yang mengetahui anaknya tidak mau dikuret, akhirnya mendatangi tetangganya, seorang tokoh agama yang banyak dimintai tolong oleh masyarakat. Kepada sang tokoh yang bernama KH. Noegroho Moempoeni, MBA, ini ia pun menceritakan apa yang terjadi pada anaknya. Kiayi itu akhirnya datang menemui Wati. Kepada Wati Pak Kiayi berkata, “Insya Allah, dengan seizin Allah janin ibu bisa hidup kembali.”

Awalnya, Wati tidak begitu saja percaya dengan ucapan Pak Kiayi. Tetapi, setelah diyakinkan Pak Kiayi bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, yang memiliki Kuasa atas segala makhluk-Nya dan Maha Penyembuh. Jika Allah sudah berkehendak bahwa penyakit kita sembuh, meski seakut apapun, maka itu pasti terjadi. Sebaliknya, jika Allah tidak berkehendak penyakit kita sembuh, meski itu ringan sekalipun, maka pasti tidak akan sembuh.

Setelah itu, Pak Kiayi langsung mengobati Wati dengan memijat jari-jari tangannya. “Mula-mula jari-jari saya dipijat. Setelah itu, saya dianjurkan oleh Pak Kiayi untuk shalat tasbih dan dzikir-dzikir lainnya,” ujar Wati, mengingat-ingat bagaimana pertama kali ia berobat kepada Pak Kiayi.

Sembari berobat setiap saat kepada Pak Kiayi, Wati pun tak pernah berhenti untuk melakukan shalat tasbih setiap harinya. Bahkan, sang ibu, bapak dan suami tercintanya turut membantu prosesi penyembuhannya dengan ikut-ikutan rajin shalat tasbih.

“Cepat atau tidaknya penyakit Mbak sembuh, tergantung sejauh mana Mbak beribadah. Semakin rajin Mbak beribadah, maka semakin cepat pula Mbak akan sembuh,” pesan Pak Kiayi pada Wati, pada saat pengobatan yang pertama.

Karena keinginan Wati sangat kuat agar janinnya yang telah gugur itu tidak berbahaya bagi dirinya, ia pun begitu antusias melaksanakan shalat tasbih setiap harinya seperti yang disarankan Pak Kiayi.

Tidak cukup shalat tasbih. Wati pun mempraktekkan amalan-amalan dzikir yang disarankan Pak Kiayi. Meski dalam dadanya timbul rasa optimisme yang tinggi, tapi Wati tidak berharap banyak pada upayanya itu, selain segalanya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. “Saya hanya fokus pada ibadah saja. Saya pasrah pada Allah. Jika Allah berkehendak janin saya hidup, maka pasti akan terjadi,” ujarnya suatu kali.

Hampir dua bulan ia melakukan shalat tasbih dan dzikir-dzikir setiap harinya. Keajaiban Tuhan pun akhirnya datang di usia kandungannya yang ke-5.

“Saat saya sedang menonton televisi di malam hari yakni menjelang tidur, tiba-tiba ada yang bergerak-gerak di perut saya. Awalnya pelan. Makin lama kian kencang dan semakin nyata. Saya pun menjerit, saking girangnya. Ibu, suami dan aya saya pun kaget. Namun, setelah saya jelaskan kalau bayinya bergerak, mereka semua gembira dan bahagia. Saking senangnya, saya kurang tidur nyenyak malam itu karena hingga pagi saya begadang,” ujar Wati.

Penasaran dengan apa yang dirasakannya semalam, pagi-pagi ditemani ayah dan ibu, Wati pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk di-USG. Setelah didiagnosa, ternyata janin Wati hidup kembali.

“Saya sampai tidak percaya mendengarnya, Mas. Saking bahagianya saya dan ibu sampai menangis, sehingga mengundang perhatian dokter dan suster yang memeriksa,” ujar Wati.

Hanya saja, menurut dokter, berat bayi yang ada dalam kandungan Wati kecil, tidak seimbang dengan masa kehamilannya. Detak jantungnya lemah. Sang dokter menyarankan agar Wati memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari, agar memiliki kandungan gizi yang cukup untuk bayi yang dikandungnya.

Wati mendengarkan nasehat dokter. Setelah itu ia dan kedua orang tuanya pulang ke rumah. Ternyata, buah perjuangannya selama ini yang selalu berdoa dan beribadah akhirnya berhasil. Allah menghidupkan kembali janinnya yang pernah divonis gugur oleh dokter.

Waktu terus berjalan, kandungan Wati kian membesar. Tetapi, sejalan itu, Wati merasakan pikirannya mulai tidak beres. “Saya kok, jadi merasa khawatir dengan janin saya,” kenangnya.

Wati mengkhawatirkan, jangan-jangan janin yang dikandungnya itu kelak akan menjadi bayi yang cacat atau tidak normal. “Saya membayangkan, jangan-jangan bayi saya nanti gak ada telinganya, kakinya atau yang lainnya,” ujarnya dihantui rasa was-was.

Menurut prasangka Wati, janinnya pernah mengalami keguguran. Jadi, kalaupun nanti hidup kemungkinan tidak utuh bentuknya. Apakah telinganya, kakinya atau anggota badan lainnya akan hilang? Prasangka-prasangka Wati yang demikian itu, terbawanya hingga ke alam tidur.

“Saya sampai mimpi buruk terus Mas. Saya mimpi tentang sapi yang tidak ada kakinya satu; kadang yang kanan dan kadang pula yang kiri,” ujarnya.

Wati pun menepis kegundahan itu, dengan banyak beribadah kepada Allah. Tetapi, tetap saja rasa was-was itu ada. “Ditemani sang suami saya lalu pergi ke dokter lagi di RSCM untuk mengecek apakah janin saya normal atau tidak,” ujar Wati.

Oleh dokter, janin yang dikandung Wati pun di-USG. Dan hasilnya, janin Wati dalam keadaan normal, tidak ada cacat. “Dokter sampai memperlihatkan gambar USG di layar monitor. Saya sendiri lihat gambarnya, ternyata memang normal,” ujar Wati.

Waktu terus berjalan dan tidak terasa usia kandungan Wati telah memasuki sembilan bulan. Saat-saat yang mendebarkan hati itu pun akhirnya datang juga. Ia berharap-harap cemas. Di satu sisi ia sangat menantikan kelahiran sng jabang bayi. Di sisi lain, ia pun was-was, jangan-jangan anak yang dilahirkannya kelak adalah anak yang cacat –meski pemeriksaan terakhir ke dokter tetap memperlihatkan bahwa kondisi bayinya normal-normal saja.

Ketika hari bersalin itu tiba, Wati lalu dibawa ke RSCM. Ia berjuang antara hidup dan mati melalui detik-detik mendebarkan kelahiran putrinya. Setelah berjam-jam berjuang keras penuh peluh di sekujur tubuhnya, akhirnya tangisan jabang bayi terdengar memecah seisi ruangan.

“Saya senang sekali ketika mendengar tangisan bayi. Tapi, saya juga masih khawatir,” ujar Wati.

Wati masih merasa khawatir kalau-kalau anak yang dilahirkannya akan cacat. “Terus terang, untuk melihatnya pertama kali hati saya berdegup kencang, takut kalau-kalau ia tidak sempurna. Saya buka mata pelan-pelan sambil mempersiapkan mental akan kenyataan terburuk yang mungkin menimpa anak saya. Saya amati bayi saya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, ternyata semuanya sempurna. Saya pun menangis haru. Alhamdulillah…Terima kasih Tuhan,” ucap Wati dalam hati.

Wati lalu menciumi pipi bayinya dengan kecupan tersayang. Ia tak henti-henti meneteskan air mata, tanda bahagia yang tidak terperihkan. Semua yang hadir turut merasakan kebahagiaan. Wati, mulai dari sang suami, ibu dan ayahnya. Betapa tidak, usaha dan doa mereka selama ini akhirnya berbuah manis. Bayi yang dikhawatirkan akan lahir cacat itu, ternyata tumbuh sehat dan normal.

Bayi Wati lahir dengan bobot 3,9 kg dan panjang 50 cm. Bobotnya dikategorikan cukup berat. Padahal, menurut Wati, saat usia janinnya masih lima bulan, yaitu saat pertama kali janinnya divonis hidup kembali oleh dokter, ukurannya kecil sekali.

Anak yg Cerdas

Delapan tahun telah berlalu. Kini, Zahirah Salsabilah, bayi mungil itu sudah besar. Ia sudah duduk di bangku kelas 2 SD Negeri 1 Cipete Utara 01 Pagi. Jika melihat anak perempuannya itu, Wati kerapkali terkenang dengan masa lalunya. Seandainya janin itu jadi dikuret, mungkin saja ia tidak akan pernah melihat buah hatinya itu.

Kebahagiaan Wati bertambah lengkap menyadari gadis cilik itu terbilang cukup cerdas. Di kelasnya, ia kerapkali masuk tiga besar. Saat kelas satu semester satu, ia juara kedua. Di semester keduanya, ia juara satu. Tetapi, di kelas dua semester pertama, ia juara tiga.

Dari pengalaman Wati itu kita bisa mengambil hikmah bahwa kekuatan doa dan ibadah itu sangat besar sekali bagi hidup kita. Kita sukses dalam hidup ini salah satunya karena doa. Karena itu, perbanyaklah kita mendekatkan diri kepada Allah. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang beriman. Amien!

Eep Khunaefi

AKHIRNYA ANAKKU LAHIR SEMPURNA (Janinnya Sempat Divonis Mati)

Rasa syukur tak pernah berhenti diungkapkan Wati, sejak delapan tahun yang lalu hingga sekarang. Betapa tidak, ia pernah dihadapkan pada satu kejadian tragis yang tidak bisa dilupakannya. Sebuah peristiwa yang nyaris saja membuatnya kehilangan anak untuk kedua kalinya, dalam waktu yang relatif pendek. Jika tidak karena pasrah pada Allah dengan banyak beribadah kepada-Nya, hal itu mungkin tidak akan terjadi.

Delapan tahun bukanlah waktu yang pendek untuk dikenang. Wati, seorang ibu rumah tangga, pernah divonis oleh dokter bahwa janinnya yang berusia tiga bulan harus dikuret karena telah mengalami keguguran. Jika dibiarkan, janin yang telah gugur itu akan membusuk dan bisa membahayakan keselamatannya.

Wati mengelaknya. Ia tidak mau dikuret. “Sebab, saya pernah dikuret. Jadi, tahu betul betapa sakitnya dikuret,” ujarnya beralasan saat itu.

Masih terbayang bagaimana ia dikuret delapan bulan yang lalu dan itu sangat menyesakkan dadanya, hingga ia tidak bisa tidur, selalu frustasi dan nyaris berputus asa dari rahmat Allah. Belum lagi, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk kuret?

Wati menyadari janinnya tidak beres ketika sedang buang hajat. Saat itulah ada sesuatu yang berbau busuk keluar dari salah satu organ pentingnya. Benda yang keluar itu seperti sebuah darah atau daging kental yang teriris-iris. Ia pun segera memeriksa kondisinya itu ke klenik terdekat rumahnya di Cipete. Oleh dokter, ia pun langsung divonis bahwa janinnya telah mengalami keguguran dan harus dikuret agar tidak mengalami pembusukan yang lebih akut di dalam. Tetapi, ia menolaknya.

“Saya sendiri heran, kenapa hal ini terjadi lagi untuk kedua kalinya? Padahal, sejak saya pernah dikuret delapan bulan yang lalu dan kemudian diketahui saya hamil lagi, saya selalu menjaga kondisi badan saya. Saya cukup istirahat dan tidak sembarangan makan,” ujar Wati penuh heran.

Tetapi, ternyata kejadian mengerikan datang lagi. Di saat usia kandungannya tiga bulan, ia mengalami keguguran dan itu harus dikuret. Wati tidak percaya akan semua ini. Sebab, selama ini ia merasa selalu menjaga fisiknya dan juga batinnya. Sebagai ibu rumah tangga, ia banyak menghabiskan waktunya di rumah. Begitu juga dengan pola makannya, cukup teratur dan tidak sembarangan. Karena itu, ketika dia dipaksa harus dikuret lagi, ia pun menolaknya. Sebab, ia masih teringat betul bagaimana tidak enaknya dikuret.

Sikap Wati yang demikian itu, yaitu menolak dikuret, sama saja baginya sedang menantang maut. Ia sangat menyadari akan hal itu. Ia sadar betul bahwa bahaya sedang ada di hadapannya. Tetapi, ia tetap tidak menghiraukannya. “Tidak masalah. Saya pasrah saja pada Tuhan. Biarin janin ini keluar sendiri. Yang penting saya tidak mau dikuret,” kenangnya.

Wati pasrah pada takdir Tuhan. Ia membiarkan janinnya yang telah mati di dalam rahimnya untuk tidak dikuret. Ia percaya bahwa takdir kematian itu berada di tangan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki janin yang telah gugur itu tidak membahayakan nyawanya, maka itu pasti terjadi. Sebaliknya, jika itu pun benar-benar berbahaya baginya, maka ia hanya bisa pasrah.

Ia sadar bahwa dengan tidak dikuret sama saja ia sedang menggadaikan nyawanya. Tetapi, ia juga sadar bahwa dikuret itu merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Hari-hari dilaluinya dengan pasrah, hingga ia kemudian bertemu dengan seorang tokoh agama.

Shalat Tasbih Setiap Hari

Ibu Wati, Ny. Mahuyah, yang mengetahui anaknya tidak mau dikuret, akhirnya mendatangi tetangganya, seorang tokoh agama yang banyak dimintai tolong oleh masyarakat. Kepada sang tokoh yang bernama KH. Noegroho Moempoeni, MBA, ini ia pun menceritakan apa yang terjadi pada anaknya. Kiayi itu akhirnya datang menemui Wati. Kepada Wati Pak Kiayi berkata, “Insya Allah, dengan seizin Allah janin ibu bisa hidup kembali.”

Awalnya, Wati tidak begitu saja percaya dengan ucapan Pak Kiayi. Tetapi, setelah diyakinkan Pak Kiayi bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, yang memiliki Kuasa atas segala makhluk-Nya dan Maha Penyembuh. Jika Allah sudah berkehendak bahwa penyakit kita sembuh, meski seakut apapun, maka itu pasti terjadi. Sebaliknya, jika Allah tidak berkehendak penyakit kita sembuh, meski itu ringan sekalipun, maka pasti tidak akan sembuh.

Setelah itu, Pak Kiayi langsung mengobati Wati dengan memijat jari-jari tangannya. “Mula-mula jari-jari saya dipijat. Setelah itu, saya dianjurkan oleh Pak Kiayi untuk shalat tasbih dan dzikir-dzikir lainnya,” ujar Wati, mengingat-ingat bagaimana pertama kali ia berobat kepada Pak Kiayi.

Sembari berobat setiap saat kepada Pak Kiayi, Wati pun tak pernah berhenti untuk melakukan shalat tasbih setiap harinya. Bahkan, sang ibu, bapak dan suami tercintanya turut membantu prosesi penyembuhannya dengan ikut-ikutan rajin shalat tasbih.

“Cepat atau tidaknya penyakit Mbak sembuh, tergantung sejauh mana Mbak beribadah. Semakin rajin Mbak beribadah, maka semakin cepat pula Mbak akan sembuh,” pesan Pak Kiayi pada Wati, pada saat pengobatan yang pertama.

Karena keinginan Wati sangat kuat agar janinnya yang telah gugur itu tidak berbahaya bagi dirinya, ia pun begitu antusias melaksanakan shalat tasbih setiap harinya seperti yang disarankan Pak Kiayi.

Tidak cukup shalat tasbih. Wati pun mempraktekkan amalan-amalan dzikir yang disarankan Pak Kiayi. Meski dalam dadanya timbul rasa optimisme yang tinggi, tapi Wati tidak berharap banyak pada upayanya itu, selain segalanya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. “Saya hanya fokus pada ibadah saja. Saya pasrah pada Allah. Jika Allah berkehendak janin saya hidup, maka pasti akan terjadi,” ujarnya suatu kali.

Hampir dua bulan ia melakukan shalat tasbih dan dzikir-dzikir setiap harinya. Keajaiban Tuhan pun akhirnya datang di usia kandungannya yang ke-5.

“Saat saya sedang menonton televisi di malam hari yakni menjelang tidur, tiba-tiba ada yang bergerak-gerak di perut saya. Awalnya pelan. Makin lama kian kencang dan semakin nyata. Saya pun menjerit, saking girangnya. Ibu, suami dan aya saya pun kaget. Namun, setelah saya jelaskan kalau bayinya bergerak, mereka semua gembira dan bahagia. Saking senangnya, saya kurang tidur nyenyak malam itu karena hingga pagi saya begadang,” ujar Wati.

Penasaran dengan apa yang dirasakannya semalam, pagi-pagi ditemani ayah dan ibu, Wati pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk di-USG. Setelah didiagnosa, ternyata janin Wati hidup kembali.

“Saya sampai tidak percaya mendengarnya, Mas. Saking bahagianya saya dan ibu sampai menangis, sehingga mengundang perhatian dokter dan suster yang memeriksa,” ujar Wati.

Hanya saja, menurut dokter, berat bayi yang ada dalam kandungan Wati kecil, tidak seimbang dengan masa kehamilannya. Detak jantungnya lemah. Sang dokter menyarankan agar Wati memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari, agar memiliki kandungan gizi yang cukup untuk bayi yang dikandungnya.

Wati mendengarkan nasehat dokter. Setelah itu ia dan kedua orang tuanya pulang ke rumah. Ternyata, buah perjuangannya selama ini yang selalu berdoa dan beribadah akhirnya berhasil. Allah menghidupkan kembali janinnya yang pernah divonis gugur oleh dokter.

Waktu terus berjalan, kandungan Wati kian membesar. Tetapi, sejalan itu, Wati merasakan pikirannya mulai tidak beres. “Saya kok, jadi merasa khawatir dengan janin saya,” kenangnya.

Wati mengkhawatirkan, jangan-jangan janin yang dikandungnya itu kelak akan menjadi bayi yang cacat atau tidak normal. “Saya membayangkan, jangan-jangan bayi saya nanti gak ada telinganya, kakinya atau yang lainnya,” ujarnya dihantui rasa was-was.

Menurut prasangka Wati, janinnya pernah mengalami keguguran. Jadi, kalaupun nanti hidup kemungkinan tidak utuh bentuknya. Apakah telinganya, kakinya atau anggota badan lainnya akan hilang? Prasangka-prasangka Wati yang demikian itu, terbawanya hingga ke alam tidur.

“Saya sampai mimpi buruk terus Mas. Saya mimpi tentang sapi yang tidak ada kakinya satu; kadang yang kanan dan kadang pula yang kiri,” ujarnya.

Wati pun menepis kegundahan itu, dengan banyak beribadah kepada Allah. Tetapi, tetap saja rasa was-was itu ada. “Ditemani sang suami saya lalu pergi ke dokter lagi di RSCM untuk mengecek apakah janin saya normal atau tidak,” ujar Wati.

Oleh dokter, janin yang dikandung Wati pun di-USG. Dan hasilnya, janin Wati dalam keadaan normal, tidak ada cacat. “Dokter sampai memperlihatkan gambar USG di layar monitor. Saya sendiri lihat gambarnya, ternyata memang normal,” ujar Wati.

Waktu terus berjalan dan tidak terasa usia kandungan Wati telah memasuki sembilan bulan. Saat-saat yang mendebarkan hati itu pun akhirnya datang juga. Ia berharap-harap cemas. Di satu sisi ia sangat menantikan kelahiran sng jabang bayi. Di sisi lain, ia pun was-was, jangan-jangan anak yang dilahirkannya kelak adalah anak yang cacat –meski pemeriksaan terakhir ke dokter tetap memperlihatkan bahwa kondisi bayinya normal-normal saja.

Ketika hari bersalin itu tiba, Wati lalu dibawa ke RSCM. Ia berjuang antara hidup dan mati melalui detik-detik mendebarkan kelahiran putrinya. Setelah berjam-jam berjuang keras penuh peluh di sekujur tubuhnya, akhirnya tangisan jabang bayi terdengar memecah seisi ruangan.

“Saya senang sekali ketika mendengar tangisan bayi. Tapi, saya juga masih khawatir,” ujar Wati.

Wati masih merasa khawatir kalau-kalau anak yang dilahirkannya akan cacat. “Terus terang, untuk melihatnya pertama kali hati saya berdegup kencang, takut kalau-kalau ia tidak sempurna. Saya buka mata pelan-pelan sambil mempersiapkan mental akan kenyataan terburuk yang mungkin menimpa anak saya. Saya amati bayi saya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, ternyata semuanya sempurna. Saya pun menangis haru. Alhamdulillah…Terima kasih Tuhan,” ucap Wati dalam hati.

Wati lalu menciumi pipi bayinya dengan kecupan tersayang. Ia tak henti-henti meneteskan air mata, tanda bahagia yang tidak terperihkan. Semua yang hadir turut merasakan kebahagiaan. Wati, mulai dari sang suami, ibu dan ayahnya. Betapa tidak, usaha dan doa mereka selama ini akhirnya berbuah manis. Bayi yang dikhawatirkan akan lahir cacat itu, ternyata tumbuh sehat dan normal.

Bayi Wati lahir dengan bobot 3,9 kg dan panjang 50 cm. Bobotnya dikategorikan cukup berat. Padahal, menurut Wati, saat usia janinnya masih lima bulan, yaitu saat pertama kali janinnya divonis hidup kembali oleh dokter, ukurannya kecil sekali.

Anak yg Cerdas

Delapan tahun telah berlalu. Kini, Zahirah Salsabilah, bayi mungil itu sudah besar. Ia sudah duduk di bangku kelas 2 SD Negeri 1 Cipete Utara 01 Pagi. Jika melihat anak perempuannya itu, Wati kerapkali terkenang dengan masa lalunya. Seandainya janin itu jadi dikuret, mungkin saja ia tidak akan pernah melihat buah hatinya itu.

Kebahagiaan Wati bertambah lengkap menyadari gadis cilik itu terbilang cukup cerdas. Di kelasnya, ia kerapkali masuk tiga besar. Saat kelas satu semester satu, ia juara kedua. Di semester keduanya, ia juara satu. Tetapi, di kelas dua semester pertama, ia juara tiga.

Dari pengalaman Wati itu kita bisa mengambil hikmah bahwa kekuatan doa dan ibadah itu sangat besar sekali bagi hidup kita. Kita sukses dalam hidup ini salah satunya karena doa. Karena itu, perbanyaklah kita mendekatkan diri kepada Allah. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba-Nya yang beriman. Amien!

Eep Khunaefi